A. Memilih Pasangan
1. Ketahui kekurangan pasangan kamu agar kamu
dapat memutuskan apakah kamu dapat menerima kekurangan tersebut atau tidak.
Umumnya, ketika sedang dalam masa awal pacaran,
biasanya perasaan kita sedang berbunga-bunga sehingga kita seringkali lupa akan
segalanya, terutama untuk yang baru pertama kali merasakan indahnya cinta.
Semua terasa indah, bahkan “kotoran kucing pun rasanya seperti coklat”. Awalnya
kita bisa menerima kekurangan-kekurangan pasangan kita. Tapi, lama kelamaan,
seiring dengan berjalannya waktu dan semakin dalamnya hubungan, kekurangannya
akan menjadi semakin banyak. Perlahan tapi pasti, perasaan semakin pudar,
tatkala kekurangannya lebih mendominasi kelebihannya. Untuk kamu yang mencari
kesempurnaan dan memasang kriteria tinggi, kamu dapat mempertimbangkannya
apakah dia memang cocok untuk kamu atau tidak dan apakah kamu siap dengan segala
kekurangannya?
2. Beritahu kekurangan kamu kepada pasangan.
Mudah berteori, tapi pasti butuh tahap dan waktu, juga strategi.
Kalau di awal sudah membongkar semua kejelekan,
bisa jadi pasangan impian kamu langsung ‘jijik’ dan pergi meninggalkan kamu.
Namun demikian, bukan berarti kita harus menutupi kekurangan kita, karena jika
memang dia mencintai kamu, dia akan menerima kamu apa adanya. Jika tidak,
lepaskan. Jika memang jodoh, pasti akan kembali.
3. Bisakah kamu “membuka diri” untuk pasangan
kamu?
Seseorang mungkin dapat mengatakan seribu kata
cinta dan bersikap romantis kepada kamu, namun apa kamu dan pasangan kamu sudah
siap untuk membuka diri dan membiarkan pasangan kamu mengetahui tentang
ketakutan, pikiran, keinginan dan kekurangan masing-masing? Jika kalian merasa
tidak nyaman untuk melakukan hal tersebut, coba pertimbangkan lagi, apa benar
kamu dan dia sudah siap untuk menikah? Coba tanya pada diri masing-masing, apa
kamu atau dia yang belum siap untuk membuka diri atau malah kalian berdua sama-sama
belum siap?
4. Intropeksi diri atau mencari kesalahan?
Coba telaah antara kamu dan pasangan kamu,
apakah kalian bisa sama-sama intropeksi diri atau saling menyalahkan? Atau
hanya satu pihak saja yang selalu intropeksi sementara yang lain menyalahkan?
Jika kalian dapat saling mengalah dan intropeksi diri setelah tahu kekurangan
pasangan masing-masing, maka kalian sudah selangkah lebih dekat ke jenjang
pernikahan.
5. Mengenal perbedaan pria dan wanita.
Pria dan wanita pada kodratnya berbeda. Pria
lebih cenderung menggunakan logika dan wanita lebih menggunakan emosi. Meski di
zaman yang edan ini, banyak sekali pria yang kewanita-wanitaan dan wanita yang
kepria-priaan, namun percaya lah kodrat tersebut tidak dapat diubah. Wanita
tidak mudah untuk memberi cintanya, namun begitu dia mencintai seorang pria
secara mendalam, maka logikanya seakan mati dan dia akan memikirkan kamu walau
pun kamu punya banyak kekurangan. Sedang pria, mudah untuk jatuh cinta, namun
rasa cinta tersebut juga cepat hilang, terutama jika logikanya sudah tidak
dapat menerima kekurangan pasangannya.
6. Mengenal bedanya penasaran, sayang, suka,
cinta dan obsesi.
Ini adalah hal yang seringkali sulit dibedakan
oleh seseorang yang sedang berada dalam panah asmara. Tidak jarang banyak
hubungan yang berakhir tragis karena mereka sendiri tidak paham akan sejatinya
perasaan mereka sendiri. Kita bisa jadi penasaran pada seseorang, namun belum
tentu menyayangi dan menyukainya, apalagi mencintainya. Banyak faktor yang bisa
membuat kita penasaran, bisa karena kagum, tidak dihiraukan, atau karena dia
memenuhi kriteria “pasangan ideal” secara fisik, sikap dan materi. Kemudian,
satu tingkat di atas penasaran adalah sayang. Sayang juga ada banyak jenisnya.
Sayang secara universal, sayang kepada lawan jenis dan sayang kepada orangtua
atau anak kita. Di atas rasa sayang, ada suka. Suka pasti bersayarat, karena
kita pasti punya alasan untuk menyukai seseorang, bisa karena fisik, kelebihan,
atau harta yang dimiliki orang tersebut. Di atasnya lagi, ada cinta. Cinta
adalah sebuah perasaan di mana kita yakin untuk terus bersama orang yang kita
cintai dan kita siap untuk menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Jika
kita cinta pada seseorang, kita pasti sayang dan suka pada orang tersebut.
Semua perasaan tersebut bisa menjadi sebuah obsesi manakala kita terlalu takut
dan cemas dalam sebuah hubungan, terlalu mengidolakan atau mengejar orang
tersebut. Jadi, kamu dan pasangan kamu termasuk yang mana?
7. Belajar dari pengalaman pribadi dan orangtua
atau orang yang sudah berpengalaman
Ada yang bilang, pengalaman adalah guru yang
terbaik, pengalaman lah yang akan mengajarkan kita banyak hal dan mendewasakan
kita. Semakin banyak kita putus cinta, semakin sedikit cinta yang akan kita
beri selanjutnya, karena kita seringkali menjadi takut dan apatis dalam
menjalin sebuah hubungan. Seringkali orangtua menasehati kita, namun saat panah
asmara sudah menguasai emosi kita, logika ikut terbutakan dan tidak jarang kita
merasa yakin bahwa kita tidak akan mengulang kesalahan-kesalahan seperti yang
sudah diwejangkan oleh orangtua atau orang yang lebih berpengalaman. Ketakutan
akan kekecewaan dan rasa apatis terhadap cinta, sebenarnya adalah pandangan
yang menyesatkan. Namun sayangnya, doktrin dari teman-teman yang sering putus
cinta, orangtua, atau lingkungan sekitar selalu mengarah ke sana. Jadi,
banyak-banyaklah mendengar dan belajarlah dari pengalaman, bukan untuk menjadi
takut dan apatis, namun untuk memperbaiki pandangan dan cara kita dalam memilih
pasangan yang tepat.
8. Beri ruang bagi pasangan dan diri sendiri.
Seringkali, terutama bagi mereka yang obsesif,
membatasi ruang gerak pasangan dan diri sendiri. Beri ruang untuk pasangan dan
diri sendiri membantu kita untuk mengerjakan hal-hal yang lebih baik dan
bermanfaat. Selain itu, kita harus meluangkan waktu untuk banyak hal,
pendidikan untuk yang masih sekolah, kerja untuk yang berkarir, teman-teman dan
yang terpenting, orangtua yang telah membesarkan kita. Meski rasa curiga,
cemburu, atau rasa cemas adalah hal yang wajar dan kita perlu mengingatkan
pasangan kita, saat mereka melakukan hal dibatas kewajaran, namun jika rasa
cemas, cemburu dan khawatir membuat kita menjadi tidak dapat mengerjakan hal
bermanfaat lainnya, maka hubungan tersebut hanya tinggal menunggu waktu. Ruang
gerak diperlukan untuk mengetahui dan memperjelas mengenai perasaan kita dan
pasangan kita. Jika ternyata memang pasangan kita beralih dan memilih yang
lain, berarti dia tidak benar-benar mencintai kita. Atau bisa jadi di masa-masa
penjajakan tersebut, malah kita yang berpaling dan menemukan orang yang lebih
baik.
9. Rumput tetangga selalu lebih hijau.
Bagi kalian, terutama yang selalu
membanding-bandingkan pasangan kalian dengan mantan atau lawan jenis lainnya.
Sadar lah, buka mata kalian, kalian bukan manusia sempurna, kalian juga adalah
manusia biasa yang memiliki banyak kesalahan dan dosa. Kebiasaan
membanding-bandingkan adalah penyakit kejiwaan yang membuat kita selalu merasa
tidak puas dan melihat “rumput tetangga” yang menurut kita lebih hijau, walau tidak
jarang pada akhirnya kita menyesal dan kehilangan orang yang sebenarnya lebih
baik dan tepat. Memilih boleh saja, selama ada pilihan, namun ingat, siap-siap
untuk dicubit, jika kalian ingin mencubit. Karma itu ada. Jadi, jangan
menyakiti pasangan kalian jika tidak ingin disakiti. Rumput tetangga boleh
lebih hijau, tapi belum tentu lebih baik.
10. Bisakah kalian saling berpartisipasi dalam
kehidupan pasangan kalian?
Banyak pasangan suami istri menikah dan
kemudian pernikahan mereka terasa hambar, karena tidak jarang mereka berjalan
masing-masing. Misalnya saja jika suami istri tersebut beda kegemaran dan
selera dan tidak menyukai kegemaran dan selera pasangannya. Mereka tidak dapat
saling mengisi dan berpartisipasi dalam kehidupan pasangannya. Kebanyakan pasangan
suami istri, melakukan peran mereka secara umum saja, namun kurang
memperhatikan pasangannya, ini lah yang kemudian dapat menjadi pemicu rasa
tidak nyaman dan memudarkan perasaan cinta, bahkan komitmen pernikahan. Sebuah
contoh sederhana dari sebuah cerita yang pernah saya baca. Sepasang suami
istri, melakukan tugasnya dengan baik. Sang istri adalah seorang ibu rumah
tangga yang baik dan mengerjakan semua pekerjaan rumah sampai larut malam,
sedang suami adalah seorang yang workaholic dan selalu pulang larut malam.
Mereka hanya melakukan tugas dan kewajiban mereka, namun mereka tidak
menyediakan waktu dan masuk ke dalam kehidupan pasangannya. Pekerjaan dan
kewajiban peran suami juga istri dalam rumah tangga memang penting, namun yang
terpenting adalah bagaimana dapat saling mengisi dan menikmati saat-saat
bersama pasangan kita. Walau terlihat sepele, namun bisa jadi sangat bermakna.
Mungkin bagi kebanyakan wanita, menonton pria bermain game adalah sesuatu yang
membosankan, sama membosankannya dengan seorang pria menemani wanita
berbelanja, tidak dapat dipungkiri. Lantas bagaimana mengatasinya? Ajak mereka
untuk terlibat langsung dalam aktivitas dan hobi kita. Misalnya saja, saat
sedang berbelanja, libatkan pasangan kita dalam memilih, asal jangan malah berkelahi
karena perbedaan pendapat. Lantas bagaimana jika ternyata kalian memiliki
selera yang berbeda dan sering berkelahi karena perbedaan tersebut? Mungkin
kalian bisa membicarakan topik lain yang tidak bersangkutan dengan hobi kalian
atau belajar lebih menghargai pendapat pasangan kalian dan mengalah.
11. Belajar merelakan dan menerima.
Jika suatu saat, ketika kamu ditinggalkan oleh
orang yang benar-benar kamu cintai, maka relakan lah dan jalani hidup seperti
sebelum kamu bersamanya. Lagi-lagi sebuah teori yang mudah diucapkan namun
sulit dilaksanakan. Mudah untuk jatuh cinta, tidak butuh waktu yang lama, namun
untuk melupakannya, mungkin butuh waktu sampai kita menutup mata. Percaya lah,
merelakan seseorang akan lebih baik daripada memaksanya untuk terus bersama
kita, karena kita juga tidak akan bahagia, untuk apa kamu mendapatkan sebuah
raga kosong tanpa jiwa? Bisa dipastikan, hubungan yang dipaksakan, tidak akan
berakhir bahagia. Dalam hidup, akan ada yang datang dan pergi, dalam segala
hal. Yang perlu kita lakukan adalah beradaptasi dan membuka hati dan pikiran,
jangan terus fokus kepada masalalu. Show must go on. Untuk sukses, kita harus
berjuang mati-matian, jatuh bangun untuk mencapainya. Sama halnya dengan
mencari pasangan hidup yang tepat. Pada akhirnya kita mungkin akan melewati
beberapa orang yang tidak cocok dan memang bukan jodoh kita, agar kita belajar
dari kesalahan dan pengalaman untuk memilah dan mendapatkan pasangan hidup yang
tepat.
12. Jangan terburu-buru untuk menikah
Jika kalian merasa semua kriteria di atas telah
terpenuhi, maka sudah saatnya membicarakan hal yang lebih serius yaitu menikah.
Menikah butuh kesiapan fisik dan mental, juga materi. Semua tidak dapat
terpisahkan, ada banyak pasangan yang bercerai karena masalah finansial sampai
masalah mengurus anak. Ada baiknya, sebelum melaksanakan pernikahan, kamu dan
pasangan kamu sudah berkomitmen dan mempersiapkan langkah kalian setelah
menikah dan menyiapkan segala kebutuhannya. Misalnya saja perencanaan ingin
punya anak berapa, bagaimana tabungan atau investasi yang ingin diambil untuk
biaya pendidikan anak nantinya dan sebagainya. Pernikahan harus lah berdasarkan
logika dan komitmen, jangan semata-mata hanya berdasarkan emosi atau “suka sama
suka”, karena rasa suka bisa hilang, rasa cinta bisa pudar, namun jika logika,
komitmen dan perasaan telah menjadi dasar sebuah pernikahan, maka hubungan
tersebut bisa bertahan lama. Memilih pasangan yang tepat bukan perkara mudah.
Hidup tanpa kekasih memang menyedihkan, tapi akan lebih menyedihkan jika
menghabiskan sisa hidup bersama orang yang tidak tepat. Memilih lah selagi bisa
memilih, sebelum terlambat dan menyesal. Ingat, hidup adalah pilihan, masa
depan adalah konsekuensi dari perbuatan kamu di masa sekarang dan masa lalu.
Hanya kamu lah satu-satunya orang yang bisa menentukan kebahagiaan dan jalan
hidupmu.
B. Hubungan dalam Perkawinan
Simak dulu pendapat Dawn J. Lipthrott, LCSW,
seorang psikoterapis dan jugamarriage and relationship educator and coach, dia
mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan.
Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga
sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak
terjadi secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti. Bisa jadi antara pasangan suami-istri, yang
satu dengan yang lain, memiliki waktu berbeda saat menghadapi dan melalui
tahapannya. Namun anda dan pasangan dapat saling merasakannya.
- Tahap pertama : Romantic Love. Saat ini adalah
saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu. Ini terjadi
di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini selalu
melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
- Tahap kedua : Dissapointment or Distress. Masih
menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan,
memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar
dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini
berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin
hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal
lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn
tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan
lagi terhadap hubungan dengan pasangannya.
Banyak pasangan di tahap ini memilih berpisah dengan pasangannya
- Tahap ketiga : Knowledge and Awareness. Dawn
mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih
memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan
pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini
biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada
pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi
perkawinan.
- Tahap keempat: Transformation. Suami istri di
tahap ini akan mencoba tingkah laku yang
berkenan di hati pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang
tepat bagi pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman
yang menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang
terjadi. Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan,
empati dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan
tentram.
- Tahap kelima:
Real Love. “Anda berdua akan kembali dipenuhi dengan keceriaan,
kemesraan, keintiman, kebahagiaan, dan kebersamaan dengan pasangan,” ujar
Dawn. Psikoterapis ini menjelaskan pula
bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah digunakan untuk
saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri semakin menghayati
cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real love sangatlah
mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki keinginan untuk
mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya
usaha Anda berdua,” ingat Dawn.
Lebih lanjut Dawn menyarankan pula, “Jangan
hancurkan hubungan pernikahan Anda dan pasangan hanya karena merasa tak sesuai
atau sulit memahami pasangan. Anda hanya perlu sabar menjalani dan mengulang
tahap perkembangan dalam pernikahan ini. Jadikanlah kelanggengan pernikahan
Anda berdua sebagai suatu hadiah berharga bagi diri sendiri, pasangan, dan juga
anak.
C. Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan
Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa
penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang
memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang
berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan
sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk
tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan
kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego,
dan kepercayaan. Pasangan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka,
termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan
pekerjaan.
Banyak faktor sosial dan demografis yang
ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut
ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan
bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang
sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun.
Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa
menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga
mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari
segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari
perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian
ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih
menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode &
Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia
yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian
pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Hubungan antara agama dan penyesuaianperkawinan
sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang
berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan
bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam
kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen
& Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama
antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan
pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.
Sejauh ini tidak ada penelitian khusus
penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya.
Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh
resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini
(Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer,
Universitas Sumatera Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan
bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan
kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit
hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah
dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap
ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk
tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada
dari kelompok ras mereka masing-masing
Data dari survei nasional mengatakan bahwa
pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian
perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan
yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan
perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada
pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada
pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama
akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga
mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami
istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer,
1983).
Salah satu hal yang harus dihadapioleh pasangan
yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang
tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara
istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita
daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar
lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan
abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran
wanita dalam rumah tangga.
D.Perceraian dan Pernikahan Kembali
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin
menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba
untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan
mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka
biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang
berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu
untuk mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik
atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal
yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan
daya tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia
Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew
Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang
akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka. Secara tradisional,
anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan
menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan
pernikahan kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang
profesor dan co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga
di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana perceraian dan
pernikahan kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang harus merawat
kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat saling
membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang siapa
yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi
kan pengalaman, tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih
baik lagi dari pernikahan sebelumnya.
E. Alternatif Selain Perkawinan
Ada banyak alasan untuk tetap melajang.
Perkembangan jaman, perubahan gaya hidup, kesibukan pekerjaan yang menyita
waktu, belum bertemu dengan pujaan hati yang cocok, biaya hidup yang tinggi,
perceraian yang kian marak, dan berbagai alasan lainnya membuat seorang memilih
untuk tetap hidup melajang. Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser,
apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam
memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang
bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak
pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang.
Persepsi masyarakat terhadap orang yang
melajang, seiring dengan perkembangan jaman, juga berubah. Seringkali kita
melihat seorang yang masih hidup melajang, mempunyai wajah dan penampilan di
atas rata-rata dan supel. Baik pelajang pria maupun wanita, mereka pun pandai bergaul,
memiliki posisi pekerjaan yang cukup menjanjikan, tingkat pendidikan yang baik.
Alasan yang paling sering dikemukakan oleh
seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka
telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di
angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan
akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat
posesif dan cemburu.
Banyak perusahaan lebih memilih karyawan yang
masih berstatus lajang untuk mengisi posisi tertentu. Pertimbangannya, para
pelajang lebih dapat berkonsentrasi terhadap pekerjaan. Hal ini juga menjadi
alasan seorang tetap hidup melajang.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada
prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan
hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan,
sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang
lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu
yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
Kemapanan dan kondisi ekonomi pun menjadi
alasan tetap melajang. Pria sering kali merasa kurang percaya diri jika belum
memiliki kendaraan atau rumah pribadi. Sementara, perempuan lajang merasa
senang jika sebelum menikah bisa hidup mandiri dan memiliki karir bagus. Mereka
bangga memiliki sesuatu yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Selain
itu, ada kepuasaan tersendiri.
Banyak yang mengatakan seorang masih melajang
karena terlalu banyak memilih atau ingin mendapat pasangan yang sempurna
sehingga sulit mendapatkan jodoh. Pernikahan adalah untuk seumur hidup. Rasanya
tidak mungkin menghabiskan masa hidup kita dengan seorang yang tidak kita
cintai. Lebih baik terlambat menikah daripada menikah akhirnya berakhir dengan
perceraian.
Lajang pun lebih mempunyai waktu untuk dirinya
sendiri, berpenampilan lebih baik, dan dapat melakukan kegiatan hobi tanpa ada
keberatan dari pasangan. Mereka bebas untuk melakukan acara berwisata ke tempat
yang disukai dengan sesama pelajang.
Pelajang biasanya terlihat lebih muda dari usia
sebenarnya jika dibandingkan dengan teman-teman yang berusia sama dengannya,
tetapi telah menikah. Ketika diundang ke pernikahan kerabat, pelajang
biasanya menghindarinya. Kalaupun datang, mereka berusaha untuk berkumpul
dengan para sepupu yang masih melajang dan sesama pelajang. Hal ini untuk
menghindari pertanyaan singkat dan sederhana dari kerabat yang seusia dengan
orangtua mereka. Kapan menikah? Kapan menyusul? Sudah ada calon? Pertanyaan
tersebut, sekalipun sederhana, tetapi sulit untuk dijawab oleh pelajang.
Seringkali, pelajang juga menjadi sasaran
keluarga untuk dicarikan jodoh, terutama bila saudara sepupu yang seumuran
telah menikah atau adik sudah mempunyai pacar. Sementara orangtua menginginkan
agar adik tidak melangkahi kakak, agar kakak tidak berat jodoh. Tidak dapat dipungkuri, sebenarnya lajang juga
mempunyai keinginan untuk menikah, memiliki pasangan untuk berbagi dalam suka
dan duka. Apalagi melihat teman yang seumuran yang telah memiliki sepasang anak
yang lucu dan menggemaskan. Bisa jadi, mereka belum menemukan pasangan atau
jodoh yang cocok di hati. Itulah alasan mereka untuk tetap menjalani hidup
sebagai lajang.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan
terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa
lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di
hati. Kehidupan melajang bukanlah sebuah hal yang
perlu ditakuti. Bukan pula sebuah pemberontakan terhadap sebuah ikatan
pernikahan. Hanya, mereka belum ketemu jodoh yang cocok untuk berbagi dalam
suka dan duka serta menghabiskan waktu bersama di hari tua.
Arus modernisasi dan gender membuat para
perempuan Indonesia dapat menempati posisi yang setara bahkan melebihi pria.
Bahkan sekarang banyak perempuan yang mempunyai penghasilan lebih besar dari
pria. Ditambah dengan konsep pilihan melajang, terutama kota-kota besar,
mendorong perempuan Indonesia untuk hidup sendiri.
Sumber:
Email: ryukiseki@gmail.com)